Zonapos.co.id – Telah viral berita munculnya bangunan perdana, yaitu pusat perbelanjaan atau Mall Plaza City di Kabupaten Bondowoso Jawa Timur. Menariknya, terdapat sorotan menggelitik atas tingkah laku para warganya yang menggunakan mall baru tersebut, seperti membawa bekal dari rumah dan memakannya di dalam mall, membuka alas kaki supaya tidak mengotori kebersihan lantai dan kehebohan melihat tangga bisa berjalan sendiri (eskalator). Hal tersebut seketika menjadi suatu berita lucu di negeri ini.
Namun dibalik fenomena itu, tingkah lucu warga Bondowoso dapat dilihat dari kacamata yang meliputi suatu nilai serius terhadap arus deras peradaban hingga saat ini. Bagaimana tidak, ia menjadi suatu contoh gerakan aneh dan norak, digerak modernitas yang sakit dan angkuh.
Dari tingkah lucu warga masyarakat Bondowoso tersebut, penulis jadi teringat dengan salah satu gerakan primitivisme sebagaimana yang telah dijelaskan oleh seorang ilmuwan John Zerzan.
Ia menyebutkan bahwasanya primitivisme adalah gerakan yang memiliki intensi untuk menyelamatkan umat manusia dari kerusakan alam, dan juga kerusakan manusia itu sendiri. Lebih lanjut, John Zerzan menegaskan bahwa primitivisme dan gerakan ekologi sosial itu berbeda, jika gerakan ekologi sosial hanya percaya hubungan manusia dengan alam bisa dibangun secara harmonis, maka primitivisme lebih dari itu, dan cukup radikal.
Primitivisme tidak berhenti disitu, primitivisme memberikan gerakan yang justru ingin merontokkan peradaban itu sendiri beserta teknologi-industrial, domestikasi dan pembagian kerja. Tidak ada yang tau, bisa saja hal aneh yang dilakukan masyarakat Bondowoso adalah bentuk propaganda gerakan primitivisme, sebagai pemberontakan atas keterancaman alam oleh gedung-gedung mall beserta sampah-sampah.
Respon yang dimunculkan oleh masyarakat Bondowoso atas dibangunnya mall mewah, dapat dilihat sebagai bentuk disrupsi modernisasi dimana sesungguhnya masyarakat Bondowoso kaget terhadap adanya industri-industri modern.
Dari uraian di atas, penulis mengajak para pembaca untuk merefleksikan adanya bentuk-bentuk modernitas, sebagaimana yang dikatakan oleh Sigmund Freud, bahwa arus deras peradaban itu membuat sakit, dan manusia dibangun atas mekanisme represi kecenderungan ilmiah atau hewani manusia.
Maka dari itu, sejauh peradaban berdiri, maka manusia takkan pernah bisa lepas dari penyakit-penyakit mental. Juga terhadap peradaban saat ini. Ben Agger menambahkan, bahwa kita hidup di zaman fase kapitalisme dan administrasi total atas waktu.
Dengan sistem tersebut kita seolah-olah merasa tak pernah cukup waktu, waktu akan terasa begitu kurang, dan begitu sempit. Dampaknya adalah kita akan semakin tertekan, semakin depresi dan semakin stress dengan semua kecepatan ini. Tak ada waktu untuk merenung, melakukan refleksi dan tak ada kedalaman dalam berfikir.
Mengacu kepada istilah primitif, gerakan ini berupaya menyingkap dan menolak segala hal dan bentuk dari peradaban modern. Tataran modern telah mengasumsikan mitos bahwa manusia takkan bisa berhasil untuk ‘survive di alam liar’. Sehingga tatanan sosial masyarakat industrial membuat manusia takut untuk kembali ke dalam kondisi awal sebagai makhluk alam (back to nature).
Peradaban modern takkan dengan mudah begitu saja melepas manusia kepada kondisi alamnya, agar manusia tetap tunduk pada sistem hirarkis dan teknologis, supaya kita bersama ketergantungan pada peradaban modern, alias tunduk sepenuhnya pada sistem tersebut. Alhasil kita bersama menjadi suatu konstruk peradaban, bahkan tidak menjadi manusia yang beradab itu sendiri.
Menyinggung juga pada kajian psikoanalisis konsumerisme. Pola manusia mencari kebahagiaan dengan melakukan hal-hal yang konsumtif, bermewah-mewahan, pengakuan diri sebagaimana yang dikenal dengan istilah hedonism telah melanggengkan modernitas yang bernafaskan konsumerisme dan kapitalisme.
Sesungguhnya, dewasa ini istilah etnografis tersebut sudah lumrah, dan pada akhirnya menjadi pola hidup. Jika ditilik secara historis etimologis, pada abad sekitar 4 SM, Aristippos seorang filosof Yunani kuno lebih dulu memperkenalkan istilah Hedonis dengan arti kesenangan hidup.
Maka dari itu, dapat dianalisa domain sosialnya memperlihatkan bahwa suatu gaya hidup konsumerisme berpotensi menjadi penyakit jiwa yang tidak memberikan batasan pada peradaban modern saat ini. Manusia terpaksa terlucuti dan terkungkung oleh sistem yang mengakar, yang tidak disadarinya. Dampaknya berpengaruh kuat juga terhadap signifikansi negatif pada tatanan nilai murni politik, hingga ekologis alam.
Jika suatu masyarakat terdampak paham konsumerisme, lebih jelas seorang membeli barang bukan karena ia butuh, sebab-sebab ia ingin mengharap justifikasi elit, mewah ataupun tidak ketertinggalan zaman.
Dengan adanya paham tersebut orang-orang tidak akan pernah berhenti bersaing terhadap ketersediaan barang yang selalu baru dari karya peradaban modern, dan seterusnya paham modernitas selalu unlimited pada zamannya, serta tidak adanya keterjedaan yang selalu menggempur deras menjadi suatu daya saing pseudo-nilai (tidak bernilai).
Dampak setelahnya adalah terhadap keberlangsungan hidup manusia dan alam, dari sifat manusia yang konsumtif tadi, telah mengeksploitasi alam dan mencemarinya dengan limbah-limbahnya, menjadi suatu keresahan kita bersama dan juga ancaman pada kesehatan bumi khususnya. Ketidaksiapan hidup mengikuti zaman, menjadi kerusakan di segala aspek sebab kesombongan dan keresahan zaman.
Kembali terhadap berita viral warga Bondowoso, pada akhirnya penulis sebagai warga Bondowoso sendiri tidak mampu memberikan kritik, saran, maupun komentar. Hanya saja ingin menyumbangkan hangatnya suasana bersama lagu yang berjudul ‘Cukup Kota’ karya Romy the Jahats.
Tak perlu kau datang pergi jauh-jauh, membawa harapan menyakiti
Aku rasa aku rasa engkau cukup tau, bagaimana nasib kita nanti.
Bagaimana lahan petani, tertutupi gedung-gedung tinggi.
Bagaimana anak cucu nanti, terjajah di tanah sendiri.
Kurasa desa tak perlukan kota, dimana Gedung tinggi berada
Kurasa kota tak perlu ke desa, membawa keangkuhan dunia !
Penulis: Z.M. Syafiq (Mahasiswa Filsafat di salah satu Universitas D.I. Yogyakarta)