Oleh: Hasbi Ash Shiddiqi*
Tak ada kawan dan lawan abadi dalam politik, yang ada adalah kepentingan abadi. Adigium ini mungkin cocok untuk menjadi pisau analisis dalam menganalisa dinamika perpolitikan tanah air akhir-akhir ini.
Deklarasi calon pasangan presiden dan calon wakil presiden Capres-Cawapres AMIN (Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar) menggemparkan media dan para pengamat politik.
Penulis, yang dalam hal ini tidak memiliki kapasitas dalam dunia perpolitikan, mencoba untuk menggoreskan tinta dalam tulisan ini, hanya sekedar unek-unek. Teori otak atik gatuk mungkin cocok untuk diimplementasikan dalam konteks ini.
Konflik Internal PKB, Goresan Cerita Lama
Tak terima dengan pemecatan Cak Imin oleh gus dur sebagai ketua umum PKB, Maka terjadilah sengketa internal yang singkat cerita, cak imin menjadi pemenang di pengadilan. PKB Versi Cak Imin yang diakui oleh negara.
Ini menjadi amunisi Cak Imin untuk terus membangkitkan eksistensinya dikancah perpolitikan Nasional. Terbukti, Suara PKB mengalami kenaikan pada pemilu 2014 dan pemilu 2019.
Calon presiden yang diusung oleh PKB pasti mengalami kemenangan. Mau tidak mau, kita harus mengakui bahwa PKB meskipun bukan partai resmi NU, karena NU bukan partai politik dan tidak mengurusi politik, tetapi fokus pada dakwah dan pemberdayaan umat, tetapi jika ditelaah dari segi historis berdirinya NU dan PKB adalah ibarat Ikan dan Air, saling membutuhkan dan tidak dapat terpisahkan.
PKB Wadah Aspirasi Nahdliyin
NU dengan misi islam moderat dan rahmatan lil alamin, sulit rasanya jika bisa menyatu dengan kelompok yang dianggap atau mendapat stigma Kelompok Kanan (HTI, FPI, PKS). Kader-kader NU dan warga nahdliyin adalah entitas yang merepresentasikan kelompok islam tradisionalis dan moderat, meskipun ada beberapa kader NU yang memiliki pemikiran progresif dan cenderung ke Kiri (Sekular-liberal).
Tetapi secara umum mereka tradisionalis dan moderat dan aspirasi mereka di parlemen diwakili oleh PKB (ini bukan klaim penulis, tapi ini adalah statement salah satu tokoh PKB yang menyatakan bahwa mereka menyuarakan aspirasi Nahdliyin).
Meski tidak menutup kemungkinan banyak pula kader NU di partai-partai nasionalis yang lain. Apakah ada kader NU di PKS ? Sejauh ini penulis belum melakukan penelitian secara mendalam.
Terbukti 2 pemilu terakhir (2014 dan 2019) bangsa ini betul-betul terbelah antara kadrun dan kampret. Kadrun (kelompok kanan), Kampret (Kelompok kiri). Baik di media sosial maupun di dunia nyata yang menimbulkan aksi-aksi bully dan persekusi.
Dengan dideklarasikannya pasangan AMIN, Anies Baswedan yang dalam pilgub jakarta 2016 didukung oleh kelompok-kelompok cenderung kanan, maka politik identitas cebong dan kampret mulai meredup. Penulis berharap, tidak ada lagi politik identitas cebong kampret dalam gelaran pemilu 2024 nanti. Saatnya adu ide dan gagasan membangun indonesia menjadi negara maju 2045.
Qaul jadid PKB dalam Politik.
Dalam tradisi madzhab Syafi’i kita mengenal istilah qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadim adalah pendapat-pendapat imam syafi’i dalam masalah fiqh disaat berada di irak.
Qaul jadid adalah pendapat-pendapat imam syafi’i disaat berada di mesir. Ternyata terdapat perbedaan pendapat antara qaul qadim dan qaul jadid. Hal itu disesuaikan dengan kondisi sosial, politik, ekonomi, tradisi yang berbeda antara irak dan mesir.
Sehingga hal tersebut menuntut pula terjadinya perubahan fatwa-fatwa keagamaan. Contoh kasus perubahan fatwa Imam Syafi’i dalam kasus orang tertidur dalam keadaan sholat, dalam qaul qadim tidak membatalkan wudhu, akan tetapi dalam qaul jadid membatalkan wudhu, karena dihukumi tertidur dalam sholat sama seperti di luar shalat.
Dalam hal fiqh (ritual keagamaan) memungkinkan adanya perubahan fatwa, apalagi persoalan politik praktis yang isinya hanya persoalan mengatur persoalan duniawi. Meski tidak menutup kemungkinan dalam politik praktis juga terdapat misi-misi ukhrawi.
Penulis dalam hal ini mengedepankan positif thinking (husnuzan) bahwa koalisi antara PKB dan Nasdem ditambah PKS dalam mengusung Anis dan cak imin adalah tidak semata untuk kepentingan kelompok, tetapi demi kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar.
Karena bangsa ini sudah terlalu lama terpolarisasi kanan dan kiri, cebong kampret, sehingga perlu adanya gebrakan baru dalam dinamika perpolitikan tanah air.
Yalal Wathon Menggema di Kantor PKS.
Selasa, 12 September 2023, lagu yang identik dengan warga nahdliyin ini dan biasa dinyanyikan pada acara-acara NU, menggema di kantor Pusat PKS Jl. Simatupang Pasar Minggu Jakarta. Tentu ini menjadi trending berita di beberapa media.
Dengan fasih para pimpinan PKS menyanyikan lagu ini. Saya tidak menjamin lagu ini akan menggema di kantor PKS jika PKS tidak berkoalisi dengan PKB. Itulah politik, bisa merubah suatu pendapat atau argumentasi.
Penulis pernah mendengar celotehan ”Pendapat itu sesuai pendapatan”, barangkali ini juga relevan dengan konteks dinamika politik hari ini. semoga yalal wathon tidak hanya menggema begitu saja tanpa ada atsar bagi para kader PKS, tetapi semangat cinta tanah air dengan konsisten menolak kelompok-kelompok transnasional betul-betul teraplikasikan di partai ini baik di parlemen maupun pemerintahan.
Kesimpulan
Dinamika perpolitikan tanah air sedang naik tensi karena mendekati pemilu 2024. Saatnya kita sambut bahagia gelaran lima tahunan ini dengan menjauhkan diri dari politik identitas.
Pemilu 2024 adalah pertaruhan apakah bangsa ini masih terpolarisasi dalam jebakan jebakan yang bisa memecah belah bangsa atau sudah berubah menjadi adu ide dan gagasan untuk menjadi bangsa yang beradab dan berkemajuan. Politik sangat dinamis, dan keutuhan bangsa dan negara adalah harga mati yang tidak bisa ditawar.
Wallahu a’lam bish-shawab
*Penulis adalah dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nurul Qarnain dan Mahasiswa Program Doktoral Studi Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.