Zonapos.co.id – Dalam era yang serba digital hari-hari ini, Islam hadir – atau lebih tepatnya dihadirkan–dalam banyak ragam dan bentuk yang secara garis besar dibagi menjadi tiga; Islam Konservatif, Islam Moderat dan Islam Liberal.
Islam dalam istilah yang dimaksud disini adalah Islam dalam konteks pengejawantahannya dalam cara hidup baik berpikir, berucap dan dan bersikap. Artinya, sebuah cara bagaimana manusia berislam; memahami ajaran Islam dan menerjemahkannya dalam tingkah dan laku kehidupannya.
Namun, kategori ini lebih banyak memotret keberislaman muslim urban yang seringkali tampak dan mengisi ruang digital masyarakat. Akibatnya, keberislaman masyarakat pedesaan yang sebetulnya adalah lumbung tradisi dan budaya berislam di Indonesia, luput dari perhatian.
Desa adalah titik awal dimana semuanya berasal mulai dari tradisi, budaya, adat-istiadat dan bahkan geografik-politik sedangkan kota adalah hasil dari transformasi desa dalam relasinya dengan desa-desa yang lain membentuk desa yang besar kemudian dikenal juga dengan istilah metropolis.
Sebagai sebuah asal, desa dikenal dengan karakteristiknya yang ruangnya yang natural dan terjaga serta masyarakatnya homogen dan tingkat kohesi antar individu di tengah masyarakatnya sangat tinggi. Akibatnya, deskriminasi, konflik dan friksi antara individu terutama yang berdasar pada perbedaan dan keberagaman di tengah masyarakat desa minim terjadi. Hal ini menjadi titik awal pembacaan bahwa masyarakat pedesaan secara fundamental bersifat moderat.
Dalam masyarakat muslim pedesaan, terutama dalam konteks masyarakat Bondowoso. Moderatisme masyarakat diikat dengan prinsip ukhuwah, sebuah prinsip yang menjujung tinggi nilai-nilai persaudaraan. Hari-hari ini terutama semenjak Islam Nusantara didengungkan lebih keras dan bahkan dirumuskan secara lebih utuh dalam konsep dan praktik keberagamaan, konsep ukhuwah masyarakat desa mengalami perluasan, yakni dari ukhuwah islamiyah, ditambah ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah basyariyah.
Namun kesadaran masyarakat desa masih tetap didominasi oleh ukhuwah islamiyah terlebih karena pergaulan masyarakat desa berkutat dalam lingkup lokal pedesaan. Dalam konteks ukhuwah islamiyah ini, salah satu moderasi keberislaman yang muncul adalah moderasi Islam berbasis langgher.
Langgher atau langgar identik dengan musholla, bentuk transformasi kata dalam bahasa Arab yang bermakna ‘tempat melakukan shalat’. Dalam geografik masyarakat pedesaan Bondowoso, setiap masyarakat dalam kelompok terkecil yang disebut pekarangan¸ ia memiliki satu langgar yang digunakan bersama. Yang pada awalnya digunakan untuk shalat dan mengaji al-Qur’an, namun pada perjalannya mengalami perluasan fungsi mulai dari yasinan, arisan, diba’an, tahlilan dan lain sebagainya.
Bentuk-bentuk perluasan fungsi yang lain tersebut memiliki satu kesamaan yaitu perkumpulan. Dari sini, langgar memiliki fungsi dalam membangun moderasi keberislaman masyarakat pedesaan.
Dalam kaitannya dengan moderasi beragama sebagai sebuah kesatuan konseptual, ia mencakup dua prinsip besar yaitu adil dan berimbang. Dalam buku Moderasi Beragama, maksud prinsip tersebut adalah sikap yang selalu menjaga keseimbangan antara dua hal ; akal dan wahyu, jasmani dan rohani, hak dan kewajiban, nash syari’ah dan ijtihad ulama’ serta ideal dan kenyataan dan lain sebagainya.
Tentunya posisi ini menuntut sebuah sikap yang tengah-tengah dan stabil serta tidak berat sebelah. Moderasi Islam pedesaan yang berbasis pada langgar dalam beberapa bentuknya terutama dengan peran kiai langgar sebagai patron, berupaya menjaga masyarakat agar tidak berat sebelah¸terutama tidak ekstrem kanan yang konservatif dan radikal serta tidak ekstrem kira yang liberal dan menjunjung tinggi kebebasan.
Sedangkan dalam indikator moderasi beragama yang dijelaskan oleh kementrian agama Republik Indonesia antara lain; komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan dan akomodatif terhadap budaya lokal. Keempat indikator ini dalam kaitannya dengan moderasi Islam masyarakat pedesaan tidak dipahami secara konseptual namun dipraktikkan dalam laku keseharian. Artinya, meski tidak paham tentang nasionalisme atau cinta tanah air, setiap masyarakat muslim pedesaan memiliki spirit hubbul wathon minal iman.
Nalar berpikir mereka sederhana yaitu, bagaimana bisa akan beribadah dengan tenang dan nyaman kalau negara sedang kacau atau konflik. Maka bagi mereka, negara hadir sebagai penjaga stabilitas masyarakat termasuk dalam menjaga ketenangan beribadah. Pada gilirannya, toleransi, kemudian anti-kekerasan serta akomodatif terhadap budaya lokal, ketiganya merupakan satu kesatuan dalam nilai menjaga kemaslahatan.
Konteks yang dapat mewadahi ketiganya adalah kebersamaan dan perkumpulan. Hal itu dilakukan oleh masyarakat pedesaan di langgar. Antara maslahat dan kebersamaan ini, kiai langgar menjadi kunci dalam membangun keberagamaan islam yang berbasis pada keduanya.
Relasi yang dibangun kiai langgher dengan masyarakat biasanya adalah relasi patronase, sebuah relasi yang menempatkan kiai sebagai patron atau pelindung dan masyarakat sebagai clien. Relasi ini terbentuk sebab setiap masyarakat muslim pedesaan pernah belajar mengaji di langgher.
Sedangkan kiai langgher kebanyakan dibentuk dalam tradisi pesantren yang fleksibel dan dinamis dalam menghadapi keberagaman dan budaya lokal selama tidak menabrak nilai-nilai syari’at. Dengan demikian, keberislaman moderat masyarakat pedesaan dibentuk dalam sebuah relasi patronase kiai langgher dengan masyarakat dan prosesnya berbasis pada langgher sebagai ruang utama terjadinya proses tersebut.
Penulis: Akhmad Ghasi Pathollah (Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Togo Ambarsari Bondowoso)