Zonapos.co.id – Berburu Lailatul Qadar menjadi fenomena yang unik untuk dikaji. Menjadi semacam ritual tahunan bagi sebagian umat muslim yang menjalankan ibadah puasa. Penulis katakan sebagian umat muslim, karena tidak semua umat muslim menjalani ritual ini.
Sependek pengamatan penulis, fenomena berburu lailatul qadar dengan cara melaksanakan I’tikaf di masjid bahkan sampai mendirikan tenda di dalam masjid banyak diamalkan masyarakat muslim perkotaan. Saat penulis menanyakan apa motivasi mereka sampai begitu semangatnya, mayoritas mereka menjawab ”mengharap mendapatkan lailatul qadar” pada bulan ramadhan tahun ini.
Tradisi I’tikaf: Ritual Masyarakat Muslim Metropolitan
Baru-baru ini, beredar video seorang da’i menjelaskan fadhilah I’tikaf lengkap dengan tutorial mendirikan tenda dalam masjid di 10 hari terakhir bulan ramadhan. Hadis tentang mendirikan tenda dalam masjid dimaknai secara sempit tanpa melihat konteks sosial dan peristiwa yang melatar-belakangi hadis tersebut atau dalam ilmu hadis disebut ”asbabul wurud”.
Juga beredar beberapa spanduk ajakan ber I’tikaf di masjid di beberapa masjid khususnya di kawasan perkotaan. Tentu tidak ada masalah dengan fenomena ini, akan tetapi, tradisi membangun tenda dalam masjid di Era Nabi adalah sebagai ruang privat agar seseorang bisa khusuk beribadah di dalam masjid tanpa ada yang mengusiknya.
Jangan pula diartikan membangun tenda dalam masjid agar full time dalam masjid termasuk tidur dalam masjid. Karena masjid adalah tempat beribadah, memang tidurnya orang puasa adalah ibadah, tetapi alangkah eloknya tidak di dalam masjid, ada beberapa masjid yang memang menyediakan bilik-bilik khusus seperti ruangan takmir, jika ingin tidur, tidurlah di ruangan itu.
Karena bisa jadi tidur di masjid meski dengan niat I’tikaf bisa mengganggu ibadah orang lain, mempersempit ruang gerak orang -orang yang akan sholat 5 waktu dan lain sebagainya.
Tradisi I’tikaf dengan mendirikan tenda dalam masjid identik dengan ritual tahunan muslim perkotaan. Masyarakat muslim perkotaan adalah orang-orang yang mapan secara ekonomi dan tentu sudah tidak pusing lagi untuk menghadapi lebaran karena THR nya sudah cair misalnya.
Berbeda dengan muslim pedesaan, kalangan petani dan nelayan, jangan kan ber I’tikaf full time dalam masjid di 10 hari terakhir bulan ramadhan, mampu dan mau melaksanakan sholat lima waktu dan puasa ramadhan secara syariat islam saja sudah prestasi luar biasa dan patut diapresiasi.
Lailatul Qadar Di Maknai Secara Sempit
Allah SWT Menjelaskan dalam Surat Al-Qadr, yang intinya malam lailatul Qadar adalah malam turunnya al-qur’an dan lebih mulia daripada seribu bulan. ”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada Lailatul Qadar. Tahukah kamu apakah Lailatul Qadar itu? Lailatul Qadar itu lebih baik daripada seribu bulan.” (Terjemahan Kemenag 2019).
Penafsiran sempitnya adalah, barangsiapa yang mendapatkan atau menangi( Jawa), malam lailatul qadar maka ia berhak menyandang predikat seorang hamba yang sudah beribadah selama 1000 bulan, kalau di total sekitar 83 tahun.
Barangkali inilah yang menjadi motivasi seseorang untuk bersemangat beribadah di 10 hari terakhir bulan ramadhan. Bahkan dikuatkan oleh beberapa hadits tentang datangnya lailatul qadar yaitu di malam-malam ganjil pada 10 hari terakhir.
Problem baru muncul,bagaimana jika memulai puasanya tidak berbarengan, sebagaimana jamak diketahui keputusan awal ramadhan antara pemerintah lewat kementerian agama berbeda dengan awal ramadhan oleh beberapa ormas keagamaan di indonesia, maka tentu penghitungan ganjil di 10 hari terakhir bulan ramadhan juga berbeda.
Malam ganjil bagi yang memulai puasa hari senin, maka malam genap bagi yang memulai puasa hari selasa. Tentu tidak ada titik temunya. Maka, marilah kita bijak menafsirkan lailatul qadar. Kenyataannya, baik al-qur’an maupun hadist nabi, tidak ada yang tegas dan shorih menjelaskan kapan malam lailatul qadar, ada riwayat yaitu berbarengan dengan malam Nuzulul Qur’an (turunnya al-Qur’an).
Jika berpatokan ini, maka malam lailatul qadar jatuh malam 17 ramadhan, sebagaimana juga jamak diketahui malam ini diperingati sebagai malam turunnya al-Qur’an terutama di Indonesia. Ada pula riwayat yang menyatakan malam lailatul qadar adalah malam pertama bulan ramadhan. Intinya, tidak ada kata sepakat mengenai kapan lailatul qadar.
Maka dari itu, marilah berfikir luwes dan bijak. Lailatul qadar adalah malam misterius yang tentu ada hikmah besar dibalik ”dirahasiakannya waktu turunnya”.
Barangkali pelajaran yang bisa diambil adalah agar seorang hamba senantiasa mendawamkan(melanggengkan ibadah) semata-mata karena allah SWT. Bukan karena reward malam lailatul qadar yang menggiurkan. Atau karena pola fikir yang simple, ”daripada capek-capek beribadah seribu bulan, cukup semalam saja yaitu pada malam lailatul qadar”.
Ramadhan Adalah Madrasah Untuk Menghasilkan Kesalehan Individual Dan Sosial
Sejatinya, ramadhan adalah media untuk melatih diri menjadi individu-individu yang soleh tidak secara individual-personal saja. Tetapi juga shaleh secara sosial. Disaat kita menahan diri dari lapar dan dahaga dan hal-hal yang membatalkan puasa, makna filosofinya adalah agar kita juga merasakan laparnya orang-orang miskin dengan harapan menjadi individu-individu yang peduli dan ringan tangan membantu meringankan beban hidup mereka.
Inilah barangkali yang disebut kesalehan sosial. Puasa itu sendiri kesalehan individual, murni urusan hamba dengan tuhannya, sama seperti shalat, membaca al-qur’an dan ragam ibadah lainnya. Maka jangan lupa, selain berpuasa, juga ada kewajiban membayar zakat fitrah. Barangkali zakat fitrah inilah merupakan aksi nyata dari kesalehan sosial.
Membayar zakat fitrah kepada fakir miskin yang membutuhkan, bisa berupa beras atau uang, tergantung mengikuti madzhab siapa. Puasa dan zakat seperti botol yang diisi air beserta tutupnya. Perumpamaan zakat fitrah, adalah tutup dari botol itu.
Menghidupkan malam-malam di 10 hari terakhir bulan ramadhan, dengan menyibukkan diri beribadah di masjid maupun di rumah masing-masing, adalah sebagai upaya menjadi hamba-hamba robbaniyyin (senantiasa mendekat kepada tuhannya). Bukan hamba-hamba yang Romadhoniyyin (Mendadak soleh di bulan ramdhan saja).
Maka alangkah baiknya jika, ibadah -ibadah itu tidak bersifat temporal semata, sebagaimana para pemburu lailatul qadar, tetapi sentiasa ajek. Senantiasa diritualkan tidak terbatas di bulan ramadhan saja, atau lebih spesifiknya di malam-malam ganjil di 10 hari terakhir bulan ramadhan.
Ini semua semata karena ikhtiar menjadi hamba yang shaleh abadi, bukan kesalahan temporal, atau kesalehan dadakan. Ini bisa kita perhatikan, minat keberagamaan yang bersifat temporal, di desa-desa, termasuk penulis hidup, jamaah tarawih justru mengalami kemajuan di 10 hari terakhir bulan ramadhan.
Kemajuan dalam arti makmum yang dibelakang semakin maju karena baris depan mengalami kekosongan. Berbanding terbalik dengan masjid-masjid di timur tengah, yang penuh dengan jamaah di 10 hari terakhir bulan ramadhan.
Orang-orang muslim di timur tengah sana, sebagaimana pengalaman penulis yang pernah belajar disana, banyak muslim disana merasakan kesedihan yang mendalam karena akan ditinggal bulan ramadhan. sama sedihnya dengan muslim pedesaan di tanah air yang juga bersedih karena akan menghadapi hari lebaran sedangkan harga-harga kebutuhan melambung tinggi. Selamat Berburu Lailatul Qadar.
Wallahu A’lam Bis Showab
Penulis: Hasbi Ash Shiddiqi (Mahasiswa Program Doktoral Studi Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)