Semarang, Zonapos.co.id – Jongkie Tio, yang akrab disapa Daddy Budiarto, merupakan sosok yang erat kaitannya dengan sejarah Kota Semarang, Jawa Tengah.
Bagi siapa pun yang ingin menyelami lebih dalam budaya kota tersebut, terutama terkait Tionghoa peranakan, Jongkie Tio adalah narasumber yang tepat.
Meski menolak disebut sejarawan, Jongkie lebih suka disebut sebagai pendongeng yang menceritakan kehidupan dan budaya Tionghoa peranakan yang berkembang bersama warga kota di pesisir pantura Jawa.
Untuk mendengar kisah tentang Tionghoa peranakan dan melihat langsung buktinya, datanglah ke Restoran Semarang International Family & Garden milik Jongkie di Jalan Gajah Mada, Kota Semarang.
Restoran tersebut menawarkan tiga menu utama, yaitu lunpia, wedang ronde, dan lontong cap go meh.
Jongkie selalu menjelaskan kepada tamunya bahwa tiga menu tersebut adalah hasil akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa yang terjadi dalam kurun waktu yang panjang.
Lontong cap go meh, misalnya, merupakan adaptasi dari ketupat opor ayam yang biasa disantap warga Muslim Jawa pada bodo kupat (perayaan lebaran ketupat sepekan setelah Idul Fitri).
Menurut Jongkie, etnis Tionghoa peranakan kemudian mengadaptasi hidangan tersebut menjadi lontong cap go meh yang disantap saat perayaan Imlek.
Hidangan ini bisa dianggap sebagai versi muda dari ketupat opor ayam.
Dua menu lainnya juga muncul dari proses akulturasi budaya.
Jejak akulturasi budaya yang panjang itu tetap terjaga di Semarang hingga kini, terlihat dalam berbagai aspek seperti makanan, gaya rumah, tradisi dugderan, gambang Semarang, seni pahat warag, dan banyak lagi.
Jongkie menjelaskan bahwa proses akulturasi ini terjadi karena berbagai etnis di Semarang hidup berdampingan.
Pada sekitar tahun 1743, lanjut Jongkie, etnis Tionghoa peranakan dikarantina oleh penguasa kolonial Belanda menyusul pemberontakan di Batavia.
Mereka ditempatkan di kampung Pecinan yang dekat dengan Kota Lama dan kampung Kauman di Semarang.
Sebagian dari mereka kemudian menyebar dan hidup berdampingan dengan etnis lain.
Kehidupan bersama dan berdampingan membuat setiap etnis mengembangkan sikap toleransi, saling memahami, dan saling berbagi.
Contohnya, ketika warga Muslim di Jawa merayakan bodo kupat, mereka mengirimkan opor ayam sambel goreng ati kepada tetangga etnis Tionghoa.
Dari situ, etnis Tionghoa terinspirasi mengadaptasi opor ayam menjadi lontong cap go meh.
Selama bertahun-tahun, Jongkie menggali sejarah dan budaya peranakan di Kota Semarang.
Ia melihat banyak hal di kota itu yang memperlihatkan unsur budaya Tionghoa yang kental.
Tidak mengherankan, mengingat etnis ini sudah lama bermukim di kota tersebut.
Sejumlah literatur menyebutkan, mereka sudah ada di sana sejak tahun 400-600 Masehi.
Etnis Tionghoa sejak dahulu suka bermukim di Semarang karena kota itu merupakan bandar terbesar di Jawa setelah divisi dagang Belanda memindahkan pelabuhan dari Tuban ke Semarang.
Kota ini dianggap memiliki peruntungan baik sebagai tempat tinggal dan berdagang karena bentuknya yang menyerupai mulut naga. Di bagian atas (selatan), kota ini dikelilingi pegunungan.
Sementara bagian bawah (utara) berbentuk melebar layaknya mulut naga.
“Kalau ingin melihat betapa kota ini memiliki peruntungan karena dikelilingi gunung, silakan naik perahu, lalu ke tengah laut di perairan Semarang.
Jika cuaca cerah, Anda bisa melihat kota ini dikelilingi tujuh gunung, mulai dari Gunung Ungaran, Telomoyo, Merbabu, Merapi, Sindoro, Sumbing, hingga Gunung Muria,” ujar Jongkie saat ditemui pada pertengahan September lalu.
Jongkie sudah tertarik pada sejarah sejak kecil karena ayahnya memiliki toko barang antik dan toko buku. Saat remaja, ia gemar memotret.
Ketika kuliah di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tahun 1965, ia menyadari pentingnya foto sebagai sarana dokumentasi.
Dengan kamera, Jongkie kemudian mengabadikan seluk-beluk masa lalu Kota Semarang, seperti bangunan tua, benda-benda kuno, atau obyek-obyek khas lainnya.
Secara khusus, ia juga belajar sejarah dari berbagai sumber, termasuk pergi ke Belanda untuk meneliti dokumen di beberapa universitas di sana.
Sebagaimana ayahnya, ia juga mengembangkan bisnis barang antik.
Namun, pada tahun 2000, toko itu tutup dan ia beralih membantu mengelola restoran milik istrinya.
Dalam peralihan tersebut, Jongkie tetap mendalami sejarah dan budaya peranakan Semarang. Pengetahuan itu tidak ia simpan untuk diri sendiri.
Ia “mendongengkan”-nya kepada siapa saja yang tertarik, termasuk mahasiswa, peneliti, wartawan, atau turis.
Bersama sahabatnya, Amen Budiman, Jongkie menerbitkan buku “Kota Semarang dalam Kenangan” pada tahun 2002.
Ia kemudian menulis buku kedua dengan judul yang sama yang memuat 287 foto tua.
Dokumen tersebut mengisahkan kawasan Pecinan, hikayat Kota Semarang, sudut-sudut Semarang lama, dan bangunan-bangunan kuno di Kota Lama yang dijuluki “Netherland Kecil”.
Sebagian foto diperoleh dari Belanda, dengan yang tertua berasal dari tahun 1880-an.
Sejumlah kolega Jongkie membawa buku tersebut (dalam versi berbahasa Inggris) ke Belanda untuk mempromosikan Semarang.
Akibatnya, sejumlah tokoh Belanda berinisiatif membuat program Midden Java Reunie pada pertengahan 1990-an hingga awal 2000-an.
Program ini ditujukan bagi orang-orang Belanda yang pernah bertugas di Semarang.
Selama delapan tahun, kunjungan turis asal Belanda ke Semarang meningkat.
Mereka bernostalgia, bertemu kenalan, menikmati suasana, atau melakukan napak tilas.
Reporter: M. Efendi











































