Jakarta, Zonapos.co.id – Kebijakan terkait penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang tercantum dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28/2024 menuai kontroversi. PP ini merupakan bagian dari pelaksanaan Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang bertujuan untuk memperketat pengendalian tembakau dengan mengatur desain dan tulisan pada kemasan rokok secara seragam.
Kebijakan ini diatur dalam Pasal 435 PP tersebut, yang mengharuskan seluruh kemasan rokok di Indonesia memenuhi standardisasi desain dan tulisan produk.
Usulan tersebut menuai kritik karena dianggap dapat merusak iklim usaha di sektor industri hasil tembakau (IHT).
Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menyatakan kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat berdampak buruk pada penyerapan hasil panen tembakau petani.
Dalam kasus serupa di Australia, penerapan kemasan polos untuk produk tembakau sejak 2012 telah menunjukkan peningkatan signifikan pada peredaran rokok ilegal, yang memengaruhi kelangsungan sektor tembakau legal.
APTI khawatir hal serupa dapat terjadi di Indonesia, mengingat lebih dari 90% hasil panen tembakau petani bergantung pada keberlanjutan industri rokok konvensional.
Menurut Sekretaris Jenderal APTI, Kusnasi Mudi, lebih dari 90% hasil tembakau petani diserap oleh industri rokok konvensional.
Jika industri ini terganggu, petani akan kehilangan pasar utama mereka karena lebih dari 90% hasil tembakau diserap oleh perusahaan rokok legal.
Penurunan produksi industri dapat menyebabkan berkurangnya pembelian tembakau dari petani, memaksa mereka untuk mencari pasar alternatif yang mungkin belum tentu stabil atau menguntungkan.
“Sebetulnya kalau sepanjang dari sektor hulu itu, produk dari hulu itu tembakau petani masih dibeli oleh pabrikan sebenarnya nggak ada masalah oleh siapapun, yang penting dipergunakan untuk produk rokok, nggak ada masalah,” kata Sekretaris Jenderal APTI Kusnasi Mudi, dikutip dari detikcom, Jumat (1/11/2024) kemarin.
“Permasalahan sebenarnya muncul jika kemasan polos ini membuka peluang bagi rokok ilegal.
Dalam jangka panjang, industri tembakau legal yang menjadi penopang utama petani bisa runtuh,” ujar Kusnasi.
Ia juga menyoroti bahwa pemerintah belum memiliki inovasi lain dalam pemanfaatan tembakau, sehingga sektor hulu sangat bergantung pada keberlanjutan industri rokok legal.
Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) turut menyatakan keberatan atas kebijakan ini.
Menurut Sekretaris Jenderal APPSI, Mujiburrohman, penyeragaman kemasan berpotensi mendorong pertumbuhan peredaran rokok ilegal yang lebih murah dan tidak membayar cukai.
Kondisi ini dikhawatirkan akan menggerus pendapatan pedagang pasar.
“Para pedagang sudah mengalami penurunan omzet karena adanya peralihan pembelian ke rokok ilegal.
Jika kemasan polos diterapkan, rokok ilegal akan semakin sulit dibedakan dengan yang legal,” tegas Mujiburrohman.
Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) juga menolak kebijakan tersebut.
Ketua Umum FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS, menegaskan bahwa aturan ini melanggar Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dengan menghapus elemen merek yang telah dilindungi undang-undang.
Identitas merek yang diakui melalui sertifikat HAKI adalah bentuk perlindungan hukum untuk memastikan pelaku usaha dapat mempertahankan eksklusivitas dan keaslian produk mereka.
Dengan penerapan kebijakan ini, perusahaan kehilangan kemampuan untuk membedakan produk mereka di pasar, yang tidak hanya merugikan usaha tetapi juga melemahkan perlindungan konsumen.
Sudarto menyebutkan bahwa kebijakan ini juga berpotensi merusak kepercayaan internasional terhadap perlindungan HAKI di Indonesia, yang dapat berdampak pada investasi dan ekspor di sektor ini.
Ketua Umum FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS, menyatakan bahwa kebijakan ini melanggar Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI), karena menghilangkan elemen merek yang merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap identitas produk.
“Kemenkes tidak mempertimbangkan masukan dari pekerja yang terdampak langsung.
Kebijakan ini berpotensi mematikan industri yang menjadi tempat kerja kami,” ujar Sudarto dalam siaran pers ditulis Kamis (31/10/2024).
Sekretaris Aliansi Vaper Indonesia (AVI), Wiratna Eko Indra Putra, dan Ketua Asosiasi Konsumen Vape Indonesia (AKVINDO), Paido Siahaan, turut mengkritisi kebijakan ini.
Mereka menilai penghapusan elemen merek dan informasi pada kemasan melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Konsumen kehilangan akses informasi yang akurat tentang produk yang mereka konsumsi.
“Aturan ini menghilangkan pembedaan antara rokok elektronik dan rokok konvensional.
Padahal, informasi pada kemasan penting bagi konsumen untuk membuat keputusan yang tepat,” ujar Paido.
Penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dalam RPMK sebagai turunan PP 28/2024 telah memunculkan berbagai penolakan dari berbagai pihak.
Sebagai alternatif, pemerintah dapat mempertimbangkan kebijakan yang lebih seimbang, seperti peningkatan edukasi kesehatan masyarakat tanpa menghilangkan identitas merek.
Selain itu, upaya penguatan pengawasan peredaran rokok ilegal dan diversifikasi pemanfaatan tembakau juga dapat menjadi solusi yang lebih konstruktif bagi keberlanjutan sektor ini.
Kebijakan ini dinilai dapat memengaruhi keberlangsungan industri tembakau legal, meningkatkan peredaran rokok ilegal, serta melanggar hak konsumen dan pelaku usaha.
Pemerintah diharapkan untuk meninjau kembali kebijakan ini dengan melibatkan seluruh pihak terkait demi menemukan solusi yang lebih adil dan berimbang.
Reporter: M. Efendi