TANJABBAR, Zonapos.co.id — Konflik lahan antara Kelompok Anggota Masyarakat Hukum Adat (KAMHA) Desa Badang dan PT. Dasa Anugrah Sejati (PT. DAS) kembali mencuat. Pasalnya, hingga batas waktu 14 hari kerja sejak Rapat Koordinasi (Rakor) Pencegahan Sengketa dan Konflik Pertanahan yang digelar Rabu, 30 April 2025, belum ada realisasi kesepakatan. Hingga Selasa (15/05/2025), tidak ada kejelasan dari pihak ATR/BPN Tanjabbar selaku fasilitator.
“Kami menunggu jawaban tertulis dan resmi dari ATR/BPN terkait permohonan pendaftaran tanah ulayat milik KAMHA Desa Badang. Sudah jelas aturannya dalam Permen ATR/BPN Nomor 14 Tahun 2024,” tegas Dedi Ariyanto, M.Si, Kuasa KAMHA Desa Badang.
Dedi menyebut, sejumlah regulasi terkait penyelesaian konflik sosial telah diatur dalam berbagai undang-undang, antara lain:
- UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial
- UU No. 9 Tahun 2015 & UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
- UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
- UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
“Namun, hingga kini pemerintah belum mampu menyelesaikan konflik yang sudah berlarut-larut,” lanjutnya.
Dedi juga menegaskan bahwa masyarakat adat Desa Badang tidak pernah menyerahkan wilayahnya untuk masuk dalam HGU milik PT. DAS. Bahkan, sejak 2019 hingga berakhirnya izin HGU pada 2023, mereka secara tegas menolak perpanjangan HGU tersebut.
“Desa Badang telah mengelola tanah ulayat seluas kurang lebih 2.975 hektare jauh sebelum PT. DAS maupun perusahaan sebelumnya masuk,” ungkap Dedi.

Ia menambahkan bahwa tanah ulayat tersebut telah dikelola sejak tahun 1192 Hijriah atau sekitar abad ke-17, secara turun-temurun.
Menurutnya, jika PT. DAS tetap menggarap tanah ulayat tanpa persetujuan masyarakat, hal itu dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.
“Seluruh dokumen dan bukti sejarah telah kami lampirkan dalam permohonan pendaftaran tanah ulayat sesuai Permen ATR/BPN No. 14 Tahun 2024. Kami minta kejelasan segera,” tutup Dedi.
Pewarta: Prabowo








































